Loading...

Senyum dan Payung Kecilmu

Senyum dan Payung Kecilmu

Entah kenapa cahaya matahari siang tadi seketika menjadi redup, dua kedip saja mata ini memejam, suasana sekitar menjadi mencekam. Ruang yang kutempati dijama oleh semilir angin yang membuat sekujur tubuh ini menjadi dingin. Langit sore tertutupi awan mendung, padahal tadi sinar matahari masih menembus atmosfer dengan sangat terik.
Selasar masjid yang kucinta ini masih ramai, bahkan semakin ramai dipenuhi pengunjungnya. Ya, Masjid Salman ITB ini selalu punya daya tarik tersendiri untuk tetap makmur, diramaikan oleh para aktivis dan jamaahnya. Tapi disini begitu banyak orang, ada apa? Satu pertanyaan yang selalu membuatku menjadi manusia yang menuruti rasa penasaran.
Di luar hujan turun sangat lebat, ya.. bisa saja itu jadi alasan mengapa orang-orang ini berbondong menempati selasar yang teduh. Suasana petang di Salman yang semakin anggun enggan kutinggalkan. Namun, satu kewajiban di kota sebelah kampusku harus kutuntaskan. Mau tak mau aku harus kembali kesana.
Hujan, menyita langkahku untuk segera beranjak. Merogoh kantong pun tak ada payung yang kubawa.“Dasar pemalas, membawa barang sekecil itu saja tak mau!” celaku pada diri sendiri. Aku berdiri, melihat butiran air hujan yang jatuh semakin lebat. Tiba-tiba kulihat anak kecil berlari dari arah pandanganku yang kabur karena embun. Semakin dekat, ya semakin dekat. Ia menghampiri aku yang gelisah menunggu hujannnya mereda.
“Payung kak?” tawarnya sambil tersenyum.
Bukan kali ini saja kulihat ia menembus guyuran hujan, beberapa hari yang lalu pun anak ini melakukan hal yang sama. Aku terdiam, masih menelik si anak yang badannya kuyup. Mungkin anak ini lama menunggu lamunanku pecah. Sampai akhirnya ku katakana, “Antar kakak ke jalan tamansari ya!”. Anak itu mengangguk dengan penuh semangat.
Dia memberikan payungnya padaku, mungkin bermaksud menyuruh aku memakainya sendiri. Ah tidak, bagaimana mungkin aku membiarkan anak kecil pemilik payung ini berjalan berdampingan denganku, tapi tubuhnya terguyur air hujan sedang aku berlindung dibawah payung miliknya. Mungkin aku akan menjudge diriku sebagai seorang kakak yang kejam jika itu kulakukan.
Aku menerima payung darinya, tapi kurangkul pula bahunya untuk tetap berada di bawah payung ini. Hening. Aku dan anak itu bersama-sama menghadang lebatnya hujan. “Umm, kamu tinggal dimana, dik?” pertanyaan pertamaku padanya. “Di sana.” Jawabnya sambil mengarahkan telunjuk tangannya ke satu pemukiman terdekat dengan kampusku. Banyak hal yang ingin kutahu darinya. Tapi semua pertanyaan itu hanya berputar diotakku saja, entah kenapa.
Kami sampai di ujung jalan Tamansari, angkutan kota sudah menungguku yang bergelagat akan menumpanginya. Di saku jaketku, hanya ada dua pecahan mata uang. Satu lembar sepuluh ribu satu lembar lagi lima ribu. Kusisihkan lagi rima ribu itu untuk ongkos, dan sisanya kuberikan pada anak kecil yang sore ini sudah menjadi pahlawan buatku. andai aku bisa memberi lebih dari sekedar selembar uang itu.  
Ia terlihat senang. Sampai angkot ini membawaku berlalu dari hadapannya, masih kulihat ia berdiri dan menganggukan kepalanya padaku. Tanda perpisahan kami mungkin. Aku tak terlalu banyak bertanya tadi. Yang aku tahu hanya alasan mengapa ia rela bersahabat dengan hujan dan mengantar orang-orang kesana kemari dengan payungnya .
“Untuk menabung kak,” jawaban singkat darinya membuatku diam. Dan masih terniang saat tadi ia ceritakan sedikit tentangnya. “Aku senang, ketika hujan ini kembali datang”  baru kusadari bahwa sepenggal kalimat dalam catatanku yang lalu amat berlaku bagi anak kecil ini. Rabb, maafkan aku yang tadi telah sekenannya meminta padaMU “Rabb.. tolong hentikan dulu  hujannya.” Padahal di sisi lain dari hidupku ada yang begitu senang ketika hujan Kau turunkan ke BumiMu ini.
Ya tentu saja, sejenak merenungi apa yang baru kusadari. Bahwa tak setiap apa yang kuanggap tak baik bagiku juga tak baik bagi orang lain. Benar saja bahwa Allah selalu memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. All right, tadi aku tak ingin hujan datang, tapi DIA turunkan pula hujannya. Mungkin siang tadi anak kecil itu mengeluhkan betapa teriknya matahari, lalu Allah seketika turunkan hujan lebat baginya. Bagi kami, bagi seluruh alam ini.
Allah memberikan apa yang kami butuhkan. Ya.. hujan tadi tak kuinginkan, tapi tanpa kuketahui itu kubutuhkan sebagai satu bahan renungan yang mampu membuat jiwa ini kembali sadar, bahwa ada hikmah dari setiap detik-detik yang terjadi dan terlalui.
“Dik, semoga hujan-hujan yang beribu kali kau tembus cukup untukmu mewujudkan cita-citamu itu ya!”   salam terhangat dariku yang memetik buah hidup dari sosok kecilmu.
(Ganeca, 12 April 2014)
***
rinderindu

Click here for comments 0 komentar:

Terima kasih atas komentar Anda
Diberdayakan oleh Blogger.
Back to Top