Warna di Balik Mall
Tak jauh berbeda dengan Ramadhan
sebelumnya, Ramadhan kali ini pun bertepatan dengan
libur kampus. Libur identik dengan
pulangnya mahasiswa ke kampung halamannya masing-
masing, melepas rindu, bercengkrama
dengan orang-orang yang disayangi. Bagiku liburan
kali ini, liburan yang bisa
dikatakaan berbeda dengan kebanyakan teman-teman
sepermainanku. Pertamakalinya dalam
perjalanan hidupku selama 20 tahun, aku melewati
bulan yang penuh berkah di tanah
orang. Orang menjuluki tanah yang ku pijak sekarang
Di salah satu universitas negeri
yang cukup terkenal di Kota Kembang, aku menempuh
pendidikan. Orang mengatakan
profesiku saat ini adalah mahasiswa. Di tahun 2015 ini, aku
memiliki keinginan untuk menjadikan
liburanku liburan yang produktif. Liburan yang bisa
memberikan pengalaman, ilmu,
relasi, serta puing-puing rupiah.
Keinginan yang ada ternyata di
sambut dengan datangnya kesempatan untuk menjadi
Volunteer Ramadhan. Informasi untuk
menjadi Volunteer Ramadhan datang dari berbagai
lembaga ZIS (Zakat, Infaq, Sedekah)
yang terkenal di Bandung bahkan Indonesia. Dari
informasi yang ada aku memutuskan
untuk coba-coba mendaftar menjadi salah satu calon
Volunteer Ramadhan di salah satu
lembaga ZIS yang ketua Pembina lembaga tersebut adalah
Prof. Dr. KH. Miftah Faridl –Ketua
MUI Bandung periode 2011-2016—
Prosedur yang harus dilewati agar
di terima sebagai Volunteer Ramadhan di lembaga
tersebut, yakni mengirimkan
persyaratan administrasi yang diminta seperti fotokopi KTP,
fotokopi KK, CV, dan surat lamaran
yang dapat dikirimkan via email atau pun dikirimkan
secara langsung ke kantor lembaga
tersebut. Kemudian langkah selanjutnya setelah
mengirimkan persyaratan
administrasi adalah wawancara. Dari administrasi dan wawancara,
Alhamdulillah aku diterima sebagai
salah satu Volunteer Ramadhan.
Ketika proses wawancara
berlangsung, pekerjaan yang ditawarkan untuk mereka yang
menjadi volunteer ramadhan ada tiga
jenis pekerjaan yaitu telemarketing, internet marketing
dan team fundraising. Pada saat
pembagian pekerjaan yang sesuai dengan skill yang dimiliki,
aku ditempatkan menjadi anggota
team fundraising. Pekerjaan ini menuntutku untuk
menghilangkan urat malu, pekerjaan
sebagai team fundraising ini mirip seperti pekerjaan
„sales promotion gilrs‟. Tentunya
pekerjaan ini lebih bernilai pahala, karena setiap hari kami
mengingatkan orang-orang yang
berlalu lalang untuk zakat,infak dan sedekah. Dimana
melalui infak dan sedekah yang
diperoleh dapat membantu berjalannya program yang ada,
dan program tersebut bertujuan
untuk menjawab permasalahan ummat Islam di Indonesia.
Lembaga kami memiliki spot gerai di
tempat-tempat yang strategis. Dimana dari adanya
gerai ini diharapkan para donator
tidak kesulitan mencari lembaga yang tepat untuk
menyalurkan sedikit dari
rezeki-Nya. Tahun 2015 lembaga kami memiliki 9 spot yang
tersebar di wilayah Bandung dan
sekitarnya. Aku mendapatkan jatah spot gerai di salah satu
Mall di Kota Kembang yang cukup
bersahabat di telinga warganya, -Bandung Indah Plaza-,
Mall yang cukup megah di Kota
Bandung yang dapat disapa oleh mereka dari kalangan
bawah, kalangan menengah dan
kalangan atas.
Dari hari kerjaku yang berlangsung
selama 19 hari, banyak hal yang aku dapatkan.
Mengamati fenomena yang ada, mampu
membuatku memahami warna lain dari balik mall.
Budaya Masyarakat Indonesia yang
Konsumtif adalah Bukan Mitos
Hal yang wajar jika saat ini,
semakin merajalela pusat perbelanjaan di berbagai kota. Setiap
hari pusat perbelanjaan selalu di
sesaki orang yang datang untuk berbelanja. Terutama di
hari-hari menjelang perayaan hari
besar agama seperti Idul Fitri.
Bulan Ramadhan yang seyogyanya
dijadikan bulan untuk menahan hawa nafsu,mengurangi
konsumsi makan dan minum, malah
menjadi bulan dengan konsumsi tertinggi.
Menarik membaca hasil riset Retail
Measurement Services Nielsen yang menyebutkan bahwa
justru tingkat konsumsi atau
belanja barang masyarakat merangkat naik disetiap bulan puasa
dengan rata-rata kenaikan mencapai
16 persen per tahun. Ini tentu aneh, karena selama bulan
Ramadhan masyarakat mengurangi pola
konsumsinya karena aktivitas puasa di siang hari.
Sehingga dengan adanya aktivitas
tersebut, secara logika tingkat konsumsi dan belanja
barang (terutama bahan makanan)
menjadi turun. Melihat keanehan ini, Prof. Didik J
Rachbinie yang mempostulasikan
fenomena Paradoks Ramadhan yang ditandai dengan
adanya kontradiksi antara praktik
fiqih dan praktik ekonomi selama bulan Ramadhan. Prof.
Didik menengarai bahwa paradoks
Ramadhan muncul akibat adanya peningkatan konsumsi
kolektif di tengah masyarakat,
mulai dari buka puasa bersama, sahur bersama, atau ritual
sosial lainnya yang pada akhirnya
mendorong peningkatan konsumsi. 1
http://www.kompasiana.com/cahyo/aneh-konsumsi-naik-saat-bulan-puasa_55001ee9a33311597350fa9d
Selama 19 hari menjadi penghuni
mall, setiap menjelang berbuka puasa, lantai bagian
foodcourt selalu disesaki dengan
orang-orang yang memesan makanan. Satu jam sebelum
berbuka puasa, orang-orang
berdatangan membooking tempat duduk untuk buka puasa.
Mereka yang tidak kebagian tempat
untuk makan, merelakan duduk di lantai, dan cukup
banyak mereka yang merelakan diri
mereka duduk di lantai demi buka puasa bareng. Ketika
menjelang hari-hari terakhir puasa,
semakin disesaki mall oleh para pengunjung.
Tertarik dengan jumlah pengunjung
yang kian hari kian mengingkat. Pernahku bertanya
terkait penghasilan per hari kepada
penjaga toko aksesoris yang berada di samping gerai
tempatku kerja. Penghasilan bersih
dari toko tersebut di hari biasa mencapai Rp 1.000.000
dan bahkan melebihi nominal
tersebut di hari sabtu dan minggu. Nah, di bulan ramadhan
pendapatan toko tersebut perharinya
meningkat sekitaran Rp 500.000 s.d Rp 1.000.000
ketimbang di hari non bulan puasa.
Dengan model aksesoris yang sedikit unik, dan tidak
terlihat murahan, aksesoris
tersebut di jual dengan harga puluhan bahkan ratusan ribu rupiah.
Untung yang pemilik toko ambil
lebih dari 100 %. Misal jam tangan modal awalnya Rp
25.000 di jual Rp 125.000. Hanya
karena unik dan tidak terkesan murahan, para pembeli pun
bersedia membayar uang sejumlah itu
demi jam tangan yang disukainya. Mayoritas pembeli
adalah mereka anak-anak, remaja
yang masih bersekolah, dan perempuan. Para pengunjung
seolah-olah memiliki prinsip, demi
sebuah penampilan yang terkesan elegan berapa pun
Berbagai fenomena yang ada
menunjukan betapa konsumtifnya masyarakat Indonesia. Jadi
wajar jika, masyarakat kita
dijadikan pasar oleh Negara luar.
Tak Selamanya Pakaian yang
Dikenakan Sesuai dengan Akhlak Pemakainya
Akhir-akhir ini, hijab menjadi
trend busana tersendiri. Banyak dari kalangan artis yang mulai
mengenakan hijab, banyak pula
bermunculan merk-merk hijab terkemuka di Indonesia. Awal
mulanya aku hanya mengenal Rabbani
sebagai merk busana muslim, kini mulai bermunculan
merk busana muslim yang lain
seperti Elzatta, Zoya, Shafira dsb. Dari munculnya trend hijab
sebagai busana tersendiri, banyak
masyarakat Indonesia juga yang kini berbondong-bondong
Mayoritas orang mengukur kadar
kekayaan, kadar kebaikan dari busana yang dikenakan.
Orang yang terlihat berpakaian
glamour maka akan dikira oleh orang lain adalah orang kaya.
Orang yang terlihat berpakaian
syar‟i akan dinilai orang sebagai orang yang baik hatinya,
cantik akhlaknya. Banyak orang
mengukur segala sesuatu berawal dari apa yang ia kenakan.
Hal itu tak jauh berbeda dengan apa
yang kami lakukan selaku team fundraising. Promosi
mengenai ZIS, tentu mengarah kepada
ummat Islam. Di mall kami banyak menawarkan ZIS,
kepada orang-orang yang tampak
syar’i dalam berpakaian. Harapan kami, ketika kami
menawarkan ZIS kepada mereka yang
telah syar’i dalam berpakaian maka mereka dapat
menghargai tawaran kami. Minimal
memberikan senyum dan mau mendengarkan tawaran
kami, harapan terbesar kami mereka
mampu memberikan donasi.
Ketika kita menawarkan sesuatu lalu
responden tersebut mendengarkan dengan baik, tentu
akan enak jadinya, ketimbang
responden tersebut acuh saja melihat kita dan mengabaikan
Harapan hanya tinggal harapan.
Tidak semua orang berpakaian syar’i memiliki akhlak yang
baik pula. Menurut hemat saya,
mereka yang demikian adalah mereka yang berpakaian syar’i
karena trend semata. Alhasil, tidak
adanya sinkronisasi antara akhlak dan pakaian yang
“Don‟t judge the book by the
cover”, pernyataan ini sepertinya pernyataan yang cocok untuk
zaman sekarang. Tidak menilai
seseorang berdasarkan tampilan luar.
Ada mereka yang berpakaian mirip
preman, datang menghampiri gerai kami untuk
membayar zakat. Ada mereka yang
berpenampilan sederhana, berdonasi dengan nilai rupiah
yang fantastis. Ada mereka yang
terlihat seperti kaum sosialita, memberikan donasi ala
kadarnya. Bermacam-macam akhlak
manusia yang dijumpai di Mall.
Semoga untuk kedepannya, masyarakat
Indonesia tidak melakukan sesuatu hanya karena
trend semata. Tidak menjadi ―budak‖
media, yang pada akhirnya ada ketidaksinkronisasian
antara apa yang dikenakan dengan
akhlak yang ditonjolkan. Seyogyanya semuanya
senantiasa berjalan beriringan. Apa
yang nampak sesuai dengan apa yang tersembunyi.
Sehingga semakin sedikit
mafia-mafia di negeri ini.
Dari 19 hari bekerja, menjadi
penghuni Mall banyak memberikanku pelajaran. Salah satunya
aku mengamati fenomena yang ada,
yang kemudian aku sebut sebagai “Warna di balik mall"
Referensi:
http://www.kompasiana.com/cahyo/aneh-konsumsi-naik-saat-bulan-
puasa_55001ee9a33311597350fa9d
Nama Dewi Lestari, mahasiswa
Akuntansi FEB Unpad. No HP 087724250677, nama
Facebook Dewi Lestari Al-Fatih,
nama Twitter @dewita_ri, alamat email
sih.dewitari@gmail.com. Hobi
menulis, membaca, traveling dan memasak.
Warna di Balik Mall Tak jauh berbeda dengan Ramadhan sebelumnya, Ramadhan kali ini pun bertepatan dengan libur kampus. Libur identi...
Artikel Terkait :
Diberdayakan oleh Blogger.
Click here for comments 0 komentar: