Loading...

Republik Rakyat Budaya (Menyingkap Tabir Teori Differential Asosiation Dalam Permasalahan Budaya Sosial dan Politik)

Indonesia: negeri kepulauan yang indah mempesona. Tanah pertiwi tempat bertumpahnya darah suci para pejuang ini bak istana budaya titipan sang Khalik yang sangat tak ternilai harganya. Kawan , tulisan ini bukan hanya intuisi kosong belaka, tapi sebuah pemikiran maju  yang mengingatkan kita akan  hal yang harus dikoreksi dibalik kehebatan bangsa kita ini. Mari kita lihat sekeliling kita. Agama, bahasa, adat, budaya, gaya bicara, papan, sandang, hingga pangan pun sungguh beragam di negeri ini. Tidak hanya itu. Sumber daya mineral, hutan, perairan, pertanian, lahan, bahkan permainan  tradisional pun menjadi aset besar bangsa ini.
 Mengingat semua kekayaan itu  tak ada salahnya jika negeri kita tercinta: Indonesia, terkenal  dengan  negeri yang kaya dengan budaya dan sumber dayanya. Kendati demikian tak bisa kita pungkiri walau semua kekayaan  ini sangat indah di mata dan mengesankan hati bangsa Indonesia. Banyak dari kita yang malah sering lupa dan mengacuhkannya. Tak mensyukuri dan mentafakurinya bahkan apriori dengan apa yang ada. Negeri ini bak  negeri  yang rumit dengan segala tek-tek bengek  persoalan  budayanya. Benarkah?. Lihatlah mereka: para pemberontak yang sering melakukan  invasi,  debat panas kritikus dengan politikus beserta antek-anteknya yang semakin menjadi-jadi, tauran  rakyat karena fanatisme adat budaya, narkoba, prilaku asusila bahkan  perang saudara menjadi trabekula sosial. Sungguh terlihat jelas. Bukannya menyatukan persatuan yang ada malah memecahkanya menjadi kepingan. Semua terjadi semata-mata karena perbedaan budaya dan persepsi diri yang menyimpang   yang menghasilkan  kesimpangan sosial. Ya, perbedaan budaya dan persepsi  ternyata melahirkan kesimpangan sosial.
Teori Asosiasi Defensial (Differential Asosiation Teory) yang sebelumnya telah dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland yang menyatakan bahwa penyimpangan bersumber pada pergaulan yang berbeda dan dipelajari melalui proses alih budaya ternyata membuahkan peristiwa yang nyata. Pergaulan yang berbeda dan diskriminasi budaya  melahirkan  penyimpangan sosial yang berkepanjangan dan semakin besar . Mari kita perhatikan kembali lingkungan  di sekeliling kita. Pergaulan yang salah dan kebudayaan yang menyimpang ternyata membawa  remaja dan orang tua untuk masuk ke dalam  jurang kriminalitas sosial. Peredaran  narkoba, pemerkosaan, pelanggaran asusila, menjadi buah karenanya. Semua terjadi  dari hasil peralihan budaya yang buruk dari kalangan oknum budaya melalui sosialisasi bebas. Ketika bergaul dengan orang atau lingkungan yang berbeda, di sinikah pengaruh itu mulai muncul. Ketika bergaul dengan Geng motor, gerakan anti sosial, bahkan  golongan pembisnis barang narkoba tidak menutup kemungkinan kita menjadi pengikut mereka. Budaya baik yang beralih ke budaya yang buruk.
Diskriminasi budaya dan penyimpangan sosial  ternyata bisa disebabkan karena hal kecil pula.  Fanatisme, saling ejek antar golongan , klaim budaya, bahkan perbedaan strata sosial bisa menjadi penyebabnya, Contoh kecilnya dalam dunia olahraga. Fanatisme para pendukung daerah begitu menggejolak, para oknum  membanggakan daerahnya masing-masing, tak peduli dengan daerah lain dan bahkan menjadi musuh yang berkepanjangan. Padahal tak ada yang berbeda, kita satu  nusa, satu bangsa, satu bahasa. Kita Indonesia. Kenapa mesti berbeda? Bhineka  memang indah, tapi hina untuk perselisihan.
Sebulan yang lalu tim sepak bola Maung Bandung (Persib) gagal berlaga dengan lawannya Macan Kemayoran (Persija) dalam Indonesia Super League (ISL) 2013. Hanya karena tindakan  tidak bertanggung jawab para oknum suporternya. Kisruh suporter, menjadi dalang di belakang layar. Kambing hitam peristiwa. Radikalisme mewarnai aksi, pemberitaan  ramai di televisi, hiruk kesal para pendukung mengemparkan dunia persepakbolaan tanah air.  Semua itu karena fanatisme  para oknum yang  berlebihan. Apatisme yang semakin menjadi-jadi dan klaim permusuhan semakin mencuci paradigma mereka yang berbuah pada diskriminasi budaya dan perbedaan status sosial.  Seperti inikah bangsa Indonesia?Seperti inikah bangsa yang berbudaya?Tidak kah  mereka menghinapkannya terlebih dahulu sebelum melakukan hal itu. Nahas. Hanya karena bangga pada tim sepak bola, sampai mengkhidaahkan saudara sendiri. Kalau dalam bahasa kerennya “Ibarat Mareubutkeun paisan kosong”. Hanya karena kebanggaan berlebihan terhadap oranglain yang belum tentu mereka mengenal kita yang membanggakannya. Kasus ini sangat krusial. Padahal Indonesia sendiri sangat menjungjung tinggi kerukunan bersosial. Dulu ketka indonesia masih belum merdeka, persatuan sungguh sangat terasa adanya, tak ada perbedaan yang berarti., berbeda tapi bisa melengkapi. Dari Sabang sampai Merouke persatuan terus dijunjung, semangat dikobarkan. Sekarang dimana arti penting sila ke-3 dalam ideologi bangsa kita? “Persatuan Indonesia”, mana yang menjadi ikon pemersatu bangsa? Hilang karena peralihan budaya dan  zaman. Sangat relevan dengan teori asosiasi differensial. Inilah republik rakyat budaya kita.
Baik,sekarang dalam dunia politik. Berbagai polemik mewarnai tatanan politik nusantara. Perbedaan budaya, dan kasta lengkap sudah melengkapi permasalahan politik negeri ini. berawal dari pergaulan yang berbeda, dan peralihan budaya yang melebar di kalangan masyarakat.
Oke, berawal dari pengertian politik itu sendiri, yang berarti usaha untuk mendapatkan sesuatu  jelasnya adalah usaha untuk mendapatkan kekuasaan. Sekarang apa hubungannya dengan budaya dan hasta yang ada? Semua berlandaskan dari perpektif  masyarakat sosial mengenai kekuasaan dan hitorisme pemerintahan.
 Tak sedikit dari  rakyat Indonesia mengenal dengan  apa yang namanya hasta. Penggolongan hasta ini diibaratkan pembedaan budaya. Contoh kecilnya: sebagian  golongan dari masyarakat tersebut  berpersepsi bahwa sejatinya yang menjadi pemimpin  / yang berperan dalam suatu  pemerintahan  harus  berasal dari golongan pemimpin yang telah ada pula. Inilah peralihan budaya yang salah kaprah. Contohnya: yang menjadi presiden adalah golongan darah biru , maka yang harus menjadi president nanti adalah golongan darah biru juga. Mereka menganggap bahwa golongan mereka lebih tinggi derajatnya dari pada golongan yang lain.  Tak jauh beda  memang dengan fenomena nepotisme. Hanya saja nepotisme lebih dekat dengan kekerabatannya yang  mementingkan keluarga. Sungguh ironi, bukan?Kalau budaya ini terus turun temurun. Lantas mau dikemanakan nilai-nilai demokrasi bangsa ini?. Itu dari segi politik pemerintahan.
Kemudian dari segi politik lainnya seperti perekrutan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan pemerintahan Indonesia dan di  berbagai instansi lainnya. Ilustrasinya, Saya punya saudara nih Ia  memiliki minat untuk mendaftar diri dan mengikuti seleksi  perekrutan masuk ke Akademi Angkatan Darat (AKMIL AD). Setelah mengikuti beberapa tahapan, akhirnya Ia lolos seleksi. Tinggal menunggu seleksi akhir , seleksi pantauan akhir (Pantukhir). Ketika wawancara pantukhir itu ia ditanya oleh salah satu oknum, redaksi pertanyaannya kurang lebih seperti ini “Bapak kamu pangkatnya apa?”.  Sungguh sangat kaget ketika Ia ditanya hal itu. Namun apa boleh buat pertanyaan itu harus dijawab dengan  jujur.
Dari ilustrasi itu dapat kita tarik kesimpulan, bahwasanya tahta, hasta dan budaya kini telah terkontaminasi dan tercampur dengan penyimpangan sosial bahkan lembaga instansi pemerintahan pun ikut-ikutan  bertindak demikian. Istana Raja hanya boleh disinggahi oleh anak Raja begitu pun dengan pemerintahan hanya boleh diduduki oleh anak pejabat. Inilah yang terjadi dimana perbedaan hasta menghancurkan cita-cita bangsa. Banyak dari pemuda bangsa yang gagal meraih impiannya dikarenakan status sosial dan perbedaan hasta dan budaya. Inilah filosofi republik rakyat budaya kita.
Perbedaan memang indah kawan, tapi seharusnya perbedaan tidak menjadi benih yang tumbuh menghancurkan persatuan yang ada. Baiknya perbedaan harus menjadi tali kokoh pengikat persatuan dan kekompakan bangsa. Perbedaan hasta, budaya, maupun adat juga bukan suatu hal yang harus diperdebatkan. Bukan pula menjadi suatu parameter nasib rakyat. Mau dikemanakan potensi yang ada di negeri ini jika hal itu uterus-terusn terjadi dan mau  jadi apa negara ini jika hal tersebut terus melekat dan membudaya di negeri ini?Oke, kita tinggalkan itu semua. Abaikan yang klasik kita sambut yang modern. Yang kita butuhkan sekarang adalah bagaimana cara kita mengubah ini semua?

Baiklah , bagaimana kita hidup di tengah perbedaan yang ada? Bagaimana menjalin kerukunan dengan  hasta dan budaya yang berbeda.sebagai seorang pelajar Saya mempunyai pendapat tersendiri. Pertama, mari kita awali dengan niat yang positif, mari kita tafakuri bahwasanya perbedaan dianugerahkan untuk saling melengkapi bukan untuk saling mengucilkan. Kedua, tidak ada mausia atau kaum yang sempurna, tidak ada yang luput dari kesalahan marilah kita junjung tinggi rasa saling memaafkan satu sama lain. Ketiga: solidaritas, ingat bahwa rakyat Indonesia adalah rakyat yang berbudaya pancasila. Persatuan Indonesia mari pegang teguh arti sila ke-3 itu. Ke-empat mari hilangkan radikalisme, invasi atau semacamnya, karena sesungguhnya kekerasan hanya menjadi api permasalahan. Dan yang terakhir,  mari kita cintai budaya kita  budaya Indonesia. Tapi jangan hanya mencintai budaya daerah sendiri. Orang sunda tak ada salahnya melestarikan budaya batak, orang Padang tak ada salahnya melestarikan budaya Jawa begitu pun daerah daerah lainnya yang ada di seluruh Indonesia. Mari kita saling melengkapi, mari cintai budaya Indonesia. Terimakasih.(Rohimat, 2012)

Click here for comments 0 komentar:

Terima kasih atas komentar Anda
Diberdayakan oleh Blogger.
Back to Top