Allahu... jika esok atau lusa Engkau panggil bunda, maka izinkan hari ini menjadi bhakti terbaikku
padanya.
Bukan yang pertama kali kupandangi tetesan infus itu. Rasanya ingin berteriak seraya mengeluarkan air
mata yang lama tertahan disudut kelopaknya. Melihatnya terbaring lemah tanpa suara, membuat
perasaanku pun ikut melemah. Aku terlalu takut kehilangannya, sampai-sampai aku tak berani melepas
tautan jemari dari genggamanya.
Ia.. seorang wanita yang dengan lembut kusebut mamah, sudah lama mengidap penyakit yang kini
menyerangnya lagi. Mungkin selama umurku hidup bersamanya, selama itu pula sakit yang ia rasa
datang dan pergi.
Rasanya baru saja Jumat kemarin ia buatkan segelas susu hangat untukku, dengan penuh cinta ia
menyuruhku meminumnya. Sambil membenarkan letak leherku yang kaku di pembaringan. Aku tak
cepat mendengar. Kubiarkan air itu sampai dingin kembali. "Tunggu mah masih gak enak." Kataku
mencari alasan, tapi ia memaksaku dengan sabar. Dan sekarang akulah yang merasakan bagaimana
khawatir dan rasa takut ini hadir ketika melihat orang yang paling dicintai terkulai lemah tak berdaya.
“Mamah ayo minum teh hangat nya!!” ia hanya mengangguk.
“Mah sedikit saja” Bahkan tak merespon permintaanku.
“Mamah.. Mamah denger teteh kan, Mah??” aku semakin gemetar.. melihat raut wajah nya yang
semakin pasi. Mamah memanggilku teteh, sejak lahir seorang bayi mungil bernama Muhammad Ibnu
Sabiyan pada tahun 2006 lalu. Kelahiran adikku mengakhiri statusku sebagai anak bungsu. Tapi sungguh
tak pernah mengakhiri kasih sayang mamah untukku.
“Allahu.. Allah...” desisnya pelan.
Aku tak tahu, apa ia mendengarku memintanya meminum teh manis yang kubuat ini, atau tidak.
Tanganku sesekali mengambil lembaran tisu. Mengusap wajahnyanya pelan yang kuyup oleh keringat
dingin. Aku mengerti, keringat ini bukti bahwa ia menahan sakit yang begitu hebat.
“Mamah kuat.. mamah sembuh ya mah…teteh sayang mamah ..” kulihat air mata meyudut menjatuhi
pipinya. Mamah mendengarku, pasti mamah mendengar ucapanku.
“Demi Engkau Rabb.. aku tak kuat lagi melihatnya menangis.. aku pun sudah banyak mengundang air
matanya Rabb.. jangan kau uji ia dengan apa yang tak mampu ia hadapi..” Ruangan ini semakin
bergeming, hanya angin yang menyaksikanku menangis kecil.
Air mata kuhantar dengan satu perasaan, perasaan yang tak mampu lagi kudeklarasikan. Aku begitu
menyanyanginya.. aku tak mau melihatnya kesakitan ! aku tak mau..!! dari dulu sampai sekarang entah
seberapa banyak tusukan jarum yang pernah ia rasakan. Menembus kulitnya yang halus, mengalirkan
cairan infus ke sela-sela nadinya. Entah berapa kali selang-selang oksigen itu terpasang hanya untuk
membantunya bernafas. Entah berapa kali kulihat detak jantungnya di sebuah layar kecil, yang ketika
tanda itu tak berfrekuensi membuat jantungku ikut berdebar kencang. Ah entah...
Waktu aku masih kecil, aku tak begitu mengerti. Berada di rumah sakit sama sepeti berada di rumah.
Bisa bermain dan lari-lari kecil bahkan bisa menonton tv lalu melihat tayangan kartun kesayangan.
Tahun 2000 silam itu kembali terbayang dalam ingatanku. Aku yang waktu itu masih berumur lima tahun
bersikap sangat polos. Kubuat minuman hangat untk mamah, yang sebenarnya aku tak mengerti itu
manis atau pahit.
“Mamah cepet sembuh ya.. biar bisa anter Dein ke sekolah..” kata-kata itu mengalir, seraya kutarik
senyuman termanis buat mamahku itu. Padahal saat itu sedang ku genggam tanggannya yang tak
berdaya. Jikalau aku mengerti, menunggu ia siuman setelah operasi usai adalah seperti menantikan ia
kembali bernyawa dan hidup, lalu takut bahwa...
Masa itu aku masih terlihat riang. Kuciran yang terikat di rambutku naik turun saat aku berlarian kecil di
halaman rumah sakit. Tertawa-tawa dan bersen dagurau dengan kakak. Walaupun sebenarnya aku
sadar, aku sangat khawatir kehilangan mamah, tapi saat itu kepolosanku menutupi rasa takutku.
Detik ini.. latar tempat yang menjadi tema perjuangan mamah kunikmati suasananya.. Ruang yang serba
putih, hingar oleh suara kecemasan dan bau obat di sana-sini. Sayang, aku tak lagi bisa
menyembunyikan perasaan takutku dengan senyum dan berlari lari kecil. aku tak lagi bisa berbicara
seringan itu, aku tak bisa lagi menyuguhkan wajah riangku seperti dulu.
Lemah.. lemahnya semakin bertambah-tambah.. aaahhh, saat ini aku semakin rindu candanya .. “Mah
ayo sembuh mah ayo!!” aku ingin memaksanya..
Ia mungkin merasakan apa yang aku rasakan. Matanya pelan pelan terbuka ..
“tehh.. udah makan? udah makan obat?”
Kepalaku yang sejak tadi menempel dekat pundaknya terangkat, Masya Alah mah... dirimu sedang
terbaring sakit pun apa yang kau tanyakan ketika kau bangun? kau tanyakan aku.. mamah aku baik baik
saja sekarang.. dirimu yang harus cepat sembuh. Aku ini sehat aku ini kuat jika melihatmu kuat.
Kujawab pertanyaan ringannya. Kuiyakan saja, karena tak mungkin membuatnya khawatir sedang
ia pun dalam kondisi terbaring lemah. Mulianya seorang ibu, ketika ia sakit pun yang dipikirkannya
adalah kesehatan anaknnya. Allah... aku tak sanggup menahan air mata ini.. tapi jangan jatuhkan
dihadapan ibuku.. kutahan-tahan jatuhan air mata ini, sampai tak bisa lagi kubendung. Aku pergi
sejenak, memalingkan wajah resahku atas kesembuhannya.
Satu.. dua.. tiga malam berlalu ..kunikmati suasana rumah sakit yang selalu senyap ini.. sudah lebih dari
seminggu labu-labu itu bergantian mengalirkan cairan infus ke tubuh mamah. Rasanya lelah,
menantikan ucapan dokter untuk menyuruh mamah pulang. Tapi saat kuingat lagi, rasanya sedikitpun
aku tak harus menggubris lelahku. pasti mamah lebih lelah mengurusiku selama ini..selama 18 tahun ini.
Pikiran itu tiba-tiba melayang.
Hari ini kembali kutemui Jumat yang selalu kusuka. Selepas Ashar kulantunkan surah Al-Kahfi di dekat
mamah, tadi malam aku tak sempat membacanya. Sejak kemarin, mamah selalu memintaku mengaji,
dan tersenyum mendengar ayat-ayat itu kualun merdu. Mamah menangis, menyimak ayat-ayat yang
paling kusuka pun kulantunkan,.. “Ar- Rahman.. ‘Allamal quran..”
Seandainya ia tahu bahwa aku ingin sekali ayat-ayat yang ada di surat cinta yang kugenggam ini kuhafal,
agar bisa kuberi istana megah untuknya. Sebagian Arrahman kuucap tanpa mushaf.. aku ingin tak
sekedar Arrahman. Agar kelak juga bisa kupakaikan jubah emas padanya di Surga.
Kuaminkan sendiri harapan yang kuindahkan ba’da ashar ini.
Handphoneku bergetar. Ada SMS, Za.
“Dei, belajarmu sudah sampai mana?”
Aku baru sadar hari ini Jumat, yang berarti besok aku harus hadapi ujian di kampusku. Ya, kampus unik,
yang membiarkan mahasiswanya tak menikmati setiap weekend. Tapi Ganesha itu pilihanku, untuk apa
kusesali. Lagi pula, itu salah satu yang bisa membuat mamah bangga padaku, tentu saja.
“Aku belum belajar sama sekali Za, masih di rumah sakit, dan mungkin akan sampai larut disini, biar
saja.. semoga aku bisa mengerjakan soal-soal itu dengan mudah ya, amiin”
Kukirim balasan itu segera, dan saat itu juga sampai pada Za. Takut, tapi sudahlah..
Kumanipulasi wajah dihadapan mamah, mencoba menyiratkan kesedihan dalam-dalam. Bukan
kesedihan karena takut menghadapi ujian besok, melainkan terbayang nasihat-nasihat sayang yang tak
henti dia berikan. Jika mamah sudah memulai perkataannya terkait hal-hal yang tak kuharapkan, aku
seolah tak ingin mendengar.
Tidak, kau akan baik-baik saja, tak perlu kau titipkan adik, kakak, dan ayah padaku. Kau akan sembuh..
sebentar lagi.. sebentar lagi mah.. sebentar lagi..
Sampai kapan tempat bertirai putih ini menjadi latar dari nasihat-nasihatnya? Rabb.. kuingin sedikit
mamaksa-Mu untuk mnyembuhkan bundaku. Tapi ada yang pelan-pelan membuatku sadar. Bahwa ini
harus kusyukuri sebagai kasih sayang-Mu pada kami.
Bila aku dan bundaku masih harus melewati baris waktu yang cukup lama untuk menikmati sakit ini,
jadikan sebagai penawar dosa kami Rabb.. aku yakin atas penjagaan-Mu wahai Allah... kupohonkan
yang terbaik.. segala yang terbaik..
Kuatkan aku..kuatkan bundaku.. kuatkan ayahku.. kuatkan adikku Rabb.
***
“Teteh tau kamu kangen mamah de.. sabar ya..”
Adikku yang baru duduk di bangku kelas 1 SD harus berusaha menjadi anak kecil yang super mandiri.
Pergi.. dan pulang sekolah tanpa antar jemput, makan siang.. malam.. sendiri.. mengerjakan PRnya
sendiri.. mandi.. main.. semua tanpa pengawasan mamah. Mungkin sama seperti aku dulu. Tapi Ahhh...
aku lebih haru melihat sosok kecil yang tegar itu. Ketika suara adzan magrib berkumandang dan gelap
pelan-pelan menyelimuti petang. Kuhentikan ia dari permainannya.
“Ayo kita shalat dulu!!” Ajakku padanya.
dengan gesit ia segera ambil wudlunya, lalu sujud ruku dan berdiri bersama sama-denganku. Selepas
salam, kulihat tangan mungilnya menengadah..
Allah... aku tak kuat melihatnya berkaca dalam pelukkan doa padaMu.. Lucunya, kenapa seorang kakak
terkesan lebih lemah dari adiknya, kaka macam apa aku ini?
Tangannya yang menengadah ia usap ke wajah, melihatku ia tersenyum
“Teh ko mamah lama di rumah sakitnya? dede pengen kesana.. tapi ..” ia terlilhat berpikir.
“Tapia apa?” kutanya lagi.
“Tapi ngga mau kalau cuma lihat dari bawah, pengen meluk mamah..” suaranya lirih.
Aku segera memeluknya, mendekapnya erat-erat, Kupejamkan mata ini kuat-kuat, tapi tetap saja airnya
menetes membasahi mukena yang masih kupakai. Aku terbayang, memang jika adik kecilku yang manis
ini datang kerumah sakit, ia tak bisa merengkuh jemari mamah. Hanya menengadah dari lobby. Melihat
ke lantai tiga sana yang nyaris 90 derajat mematahkan lehernya. Dan dibalik jendela sana ada mamah,
yang tersenyum dan melambaikan tangan dengan halus.
Mamah hanya bisa melihatnya dari kejauhan, pandangannya mungkin buram karena matanya tak lagi
sejernih dulu, ia hanya menangkap bayangan anak bandel yang pintar ini berlarian kecil. Sama seperti
aku dulu, yang masih bisa menampakkan wajah riangku saat menjenguk mamah.
Dan aku tahu persis yang dirasakan adikku ini, karena akupun dulu merasakannya. Bahkan masih
terniang-niang hingga sekarang, bagaimana rasanya ketakutan bahwa penyakit ganas itu akan
merenggut keberadaan mamah disampingku.
Maafkan aku de, aku belum bisa membawa mamah pulang untukmu. Seandainya kita punya uang lebih
banyak, mungkin cukup untuk biaya membayar pelayanan dan dokter yang lebih baik, agar mamah
cepat kembali ke rumah ini. sayangnya, yang ayah dan kuusahakan belum bisa membuatnya cepat disini,
tapi tenanglah ada Allah yang melebihi segalanya, yang akan membuat mamah memelukmu lagi.
Hanya ada aku dan adikku di rumah sederhana ini. Ia masih kupeluk sampai ia tertidur di pangkuanku.
Mungkin terlalu lelah main seharian ini, padahal ia belum cerita apa saja yang ia lakukan siang hari tadi,
tapi biarlah. Kupindahkan ia ke tempat tidurnya. Biar selimut ini saja ya yang menemanimu malam ini.
Isya sudah tunai kudirikan. Baru saja akan kubuka lembaran diktat kuliahku, Ayah datang. Aku heran.
“Siapa yang menunggu mamah?” tanyaku khawatir.
“Ada kakak, baru datang maghrib tadi.” jawabnya singkat.
Aku buatkan kopi pahit untuknya. Padahal wanita cantik yang biasa menyuguhkan secangkir kopi
padanya adalah mamah. Untungnya mamah sudah mengajariku bagaimana membuat kopi yang enak.
Lalu ayah berbenah, ia pun menyusul adikku di tempat tidurnya. Ia turut terlelap disana.
Diam-diam kupandangi wajah lelah mereka. Lagi-lagi ini membawaku larut dalam samudera air mata.
Seketika memori-memori itu kembali hadir. Dulu aku ingat betul bagaimana payahnya mamah saat
mengandung adikku. Di usia kandungan yang nyaris tua, mamah tetap menjadi wanita yang bugar. Larut
malam sempat kuintip ia memindahkan air dari bak untuk di tampung di ember-ember, karena pada
saat itu musim kemarau, air hanya datang malam hari. Aku ingin membantu, tapi ia marah dan
menyuruhku tidur lagi.
Begitupun ceritanya saat mengandung kakakku, pada usianya yang masih muda dulu ia melahirkan
pertamakali di kampung sana. Belum mengenal teknologi, semua serba primitif. Ia kesakitan. Menuruti
aturan-aturan orang tua yang sekarang dipikir semakin tak logis. Sakitnya melahirkan kakakku
membekas, dan berlanjut dengan mengandungku. Tahun 1995 aku lahir, menambah bahagianya dan
juga sakitnya mungkin. Luka yang tak terdeteksi sejak 1989 itu infeksi di dalam, dokter memvonisnya
kanker, entahlah apa itu aku tak ingin tahu. Sampai akhirnya Tahun 2000 itu menjadi latar waktu
bundaku mengalami operasi.
2006 yang lalu adikku lahir, semakin menambah bahagianya, juga sakitnya mungkin. Lahirnya ia pun
membekas. Ada guratan melintang di perut mamah. Mamah harus sesar, karena operasi sebelumnya
membuat ia tak bisa melahirkan dengan normal.
Sampai tahun ini, rumah sakit itu sering ku kunjungi lagi, dan wanita mulia yang amat kucintai yang
berbaring di sana. Entah apa yang sekarang kupikirkan. Aku seolah menjadi saksi kesabaran mamahku,
kekuatan ayahku, ketegaran adikku, pun kekhawatiran kakakku. Semua dengan telik kuperhatikan.
Demi Allah, tak ada alasan yang membuatku tak menyayangi mamah! Lelah ini tak sebanding lelahnya
mengandungku, membesarkanku. Lemah ini tak selemah ia melawan kanker itu. Lantas apalagi yang
kukeluhkan? Aku harus tegar! Karena kisah mamah pun mengajariku untuk tegar.
“Mutiara mamah gak boleh pudar!” ya mamahku tersayang, tentu aku akan selalu bersinar. Meneruskan
sianarmu yang kau wariskan. Di setiap mata air perjuanganmu, kupunguti hikmah yang berserakan..
tentang hidup dengan keikhlasan juga kesabaran. Aku meyayangimu lebih dari apapun, tapi sayangmu
padaku tak sekedar itu. Malaikatku… lekas sembuhlah…
dn (Cimahi,2015)
padanya.
Bukan yang pertama kali kupandangi tetesan infus itu. Rasanya ingin berteriak seraya mengeluarkan air
mata yang lama tertahan disudut kelopaknya. Melihatnya terbaring lemah tanpa suara, membuat
perasaanku pun ikut melemah. Aku terlalu takut kehilangannya, sampai-sampai aku tak berani melepas
tautan jemari dari genggamanya.
Ia.. seorang wanita yang dengan lembut kusebut mamah, sudah lama mengidap penyakit yang kini
menyerangnya lagi. Mungkin selama umurku hidup bersamanya, selama itu pula sakit yang ia rasa
datang dan pergi.
Rasanya baru saja Jumat kemarin ia buatkan segelas susu hangat untukku, dengan penuh cinta ia
menyuruhku meminumnya. Sambil membenarkan letak leherku yang kaku di pembaringan. Aku tak
cepat mendengar. Kubiarkan air itu sampai dingin kembali. "Tunggu mah masih gak enak." Kataku
mencari alasan, tapi ia memaksaku dengan sabar. Dan sekarang akulah yang merasakan bagaimana
khawatir dan rasa takut ini hadir ketika melihat orang yang paling dicintai terkulai lemah tak berdaya.
“Mamah ayo minum teh hangat nya!!” ia hanya mengangguk.
“Mah sedikit saja” Bahkan tak merespon permintaanku.
“Mamah.. Mamah denger teteh kan, Mah??” aku semakin gemetar.. melihat raut wajah nya yang
semakin pasi. Mamah memanggilku teteh, sejak lahir seorang bayi mungil bernama Muhammad Ibnu
Sabiyan pada tahun 2006 lalu. Kelahiran adikku mengakhiri statusku sebagai anak bungsu. Tapi sungguh
tak pernah mengakhiri kasih sayang mamah untukku.
“Allahu.. Allah...” desisnya pelan.
Aku tak tahu, apa ia mendengarku memintanya meminum teh manis yang kubuat ini, atau tidak.
Tanganku sesekali mengambil lembaran tisu. Mengusap wajahnyanya pelan yang kuyup oleh keringat
dingin. Aku mengerti, keringat ini bukti bahwa ia menahan sakit yang begitu hebat.
“Mamah kuat.. mamah sembuh ya mah…teteh sayang mamah ..” kulihat air mata meyudut menjatuhi
pipinya. Mamah mendengarku, pasti mamah mendengar ucapanku.
“Demi Engkau Rabb.. aku tak kuat lagi melihatnya menangis.. aku pun sudah banyak mengundang air
matanya Rabb.. jangan kau uji ia dengan apa yang tak mampu ia hadapi..” Ruangan ini semakin
bergeming, hanya angin yang menyaksikanku menangis kecil.
Air mata kuhantar dengan satu perasaan, perasaan yang tak mampu lagi kudeklarasikan. Aku begitu
menyanyanginya.. aku tak mau melihatnya kesakitan ! aku tak mau..!! dari dulu sampai sekarang entah
seberapa banyak tusukan jarum yang pernah ia rasakan. Menembus kulitnya yang halus, mengalirkan
cairan infus ke sela-sela nadinya. Entah berapa kali selang-selang oksigen itu terpasang hanya untuk
membantunya bernafas. Entah berapa kali kulihat detak jantungnya di sebuah layar kecil, yang ketika
tanda itu tak berfrekuensi membuat jantungku ikut berdebar kencang. Ah entah...
Waktu aku masih kecil, aku tak begitu mengerti. Berada di rumah sakit sama sepeti berada di rumah.
Bisa bermain dan lari-lari kecil bahkan bisa menonton tv lalu melihat tayangan kartun kesayangan.
Tahun 2000 silam itu kembali terbayang dalam ingatanku. Aku yang waktu itu masih berumur lima tahun
bersikap sangat polos. Kubuat minuman hangat untk mamah, yang sebenarnya aku tak mengerti itu
manis atau pahit.
“Mamah cepet sembuh ya.. biar bisa anter Dein ke sekolah..” kata-kata itu mengalir, seraya kutarik
senyuman termanis buat mamahku itu. Padahal saat itu sedang ku genggam tanggannya yang tak
berdaya. Jikalau aku mengerti, menunggu ia siuman setelah operasi usai adalah seperti menantikan ia
kembali bernyawa dan hidup, lalu takut bahwa...
Masa itu aku masih terlihat riang. Kuciran yang terikat di rambutku naik turun saat aku berlarian kecil di
halaman rumah sakit. Tertawa-tawa dan bersen dagurau dengan kakak. Walaupun sebenarnya aku
sadar, aku sangat khawatir kehilangan mamah, tapi saat itu kepolosanku menutupi rasa takutku.
Detik ini.. latar tempat yang menjadi tema perjuangan mamah kunikmati suasananya.. Ruang yang serba
putih, hingar oleh suara kecemasan dan bau obat di sana-sini. Sayang, aku tak lagi bisa
menyembunyikan perasaan takutku dengan senyum dan berlari lari kecil. aku tak lagi bisa berbicara
seringan itu, aku tak bisa lagi menyuguhkan wajah riangku seperti dulu.
Lemah.. lemahnya semakin bertambah-tambah.. aaahhh, saat ini aku semakin rindu candanya .. “Mah
ayo sembuh mah ayo!!” aku ingin memaksanya..
Ia mungkin merasakan apa yang aku rasakan. Matanya pelan pelan terbuka ..
“tehh.. udah makan? udah makan obat?”
Kepalaku yang sejak tadi menempel dekat pundaknya terangkat, Masya Alah mah... dirimu sedang
terbaring sakit pun apa yang kau tanyakan ketika kau bangun? kau tanyakan aku.. mamah aku baik baik
saja sekarang.. dirimu yang harus cepat sembuh. Aku ini sehat aku ini kuat jika melihatmu kuat.
Kujawab pertanyaan ringannya. Kuiyakan saja, karena tak mungkin membuatnya khawatir sedang
ia pun dalam kondisi terbaring lemah. Mulianya seorang ibu, ketika ia sakit pun yang dipikirkannya
adalah kesehatan anaknnya. Allah... aku tak sanggup menahan air mata ini.. tapi jangan jatuhkan
dihadapan ibuku.. kutahan-tahan jatuhan air mata ini, sampai tak bisa lagi kubendung. Aku pergi
sejenak, memalingkan wajah resahku atas kesembuhannya.
Satu.. dua.. tiga malam berlalu ..kunikmati suasana rumah sakit yang selalu senyap ini.. sudah lebih dari
seminggu labu-labu itu bergantian mengalirkan cairan infus ke tubuh mamah. Rasanya lelah,
menantikan ucapan dokter untuk menyuruh mamah pulang. Tapi saat kuingat lagi, rasanya sedikitpun
aku tak harus menggubris lelahku. pasti mamah lebih lelah mengurusiku selama ini..selama 18 tahun ini.
Pikiran itu tiba-tiba melayang.
Hari ini kembali kutemui Jumat yang selalu kusuka. Selepas Ashar kulantunkan surah Al-Kahfi di dekat
mamah, tadi malam aku tak sempat membacanya. Sejak kemarin, mamah selalu memintaku mengaji,
dan tersenyum mendengar ayat-ayat itu kualun merdu. Mamah menangis, menyimak ayat-ayat yang
paling kusuka pun kulantunkan,.. “Ar- Rahman.. ‘Allamal quran..”
Seandainya ia tahu bahwa aku ingin sekali ayat-ayat yang ada di surat cinta yang kugenggam ini kuhafal,
agar bisa kuberi istana megah untuknya. Sebagian Arrahman kuucap tanpa mushaf.. aku ingin tak
sekedar Arrahman. Agar kelak juga bisa kupakaikan jubah emas padanya di Surga.
Kuaminkan sendiri harapan yang kuindahkan ba’da ashar ini.
Handphoneku bergetar. Ada SMS, Za.
“Dei, belajarmu sudah sampai mana?”
Aku baru sadar hari ini Jumat, yang berarti besok aku harus hadapi ujian di kampusku. Ya, kampus unik,
yang membiarkan mahasiswanya tak menikmati setiap weekend. Tapi Ganesha itu pilihanku, untuk apa
kusesali. Lagi pula, itu salah satu yang bisa membuat mamah bangga padaku, tentu saja.
“Aku belum belajar sama sekali Za, masih di rumah sakit, dan mungkin akan sampai larut disini, biar
saja.. semoga aku bisa mengerjakan soal-soal itu dengan mudah ya, amiin”
Kukirim balasan itu segera, dan saat itu juga sampai pada Za. Takut, tapi sudahlah..
Kumanipulasi wajah dihadapan mamah, mencoba menyiratkan kesedihan dalam-dalam. Bukan
kesedihan karena takut menghadapi ujian besok, melainkan terbayang nasihat-nasihat sayang yang tak
henti dia berikan. Jika mamah sudah memulai perkataannya terkait hal-hal yang tak kuharapkan, aku
seolah tak ingin mendengar.
Tidak, kau akan baik-baik saja, tak perlu kau titipkan adik, kakak, dan ayah padaku. Kau akan sembuh..
sebentar lagi.. sebentar lagi mah.. sebentar lagi..
Sampai kapan tempat bertirai putih ini menjadi latar dari nasihat-nasihatnya? Rabb.. kuingin sedikit
mamaksa-Mu untuk mnyembuhkan bundaku. Tapi ada yang pelan-pelan membuatku sadar. Bahwa ini
harus kusyukuri sebagai kasih sayang-Mu pada kami.
Bila aku dan bundaku masih harus melewati baris waktu yang cukup lama untuk menikmati sakit ini,
jadikan sebagai penawar dosa kami Rabb.. aku yakin atas penjagaan-Mu wahai Allah... kupohonkan
yang terbaik.. segala yang terbaik..
Kuatkan aku..kuatkan bundaku.. kuatkan ayahku.. kuatkan adikku Rabb.
***
“Teteh tau kamu kangen mamah de.. sabar ya..”
Adikku yang baru duduk di bangku kelas 1 SD harus berusaha menjadi anak kecil yang super mandiri.
Pergi.. dan pulang sekolah tanpa antar jemput, makan siang.. malam.. sendiri.. mengerjakan PRnya
sendiri.. mandi.. main.. semua tanpa pengawasan mamah. Mungkin sama seperti aku dulu. Tapi Ahhh...
aku lebih haru melihat sosok kecil yang tegar itu. Ketika suara adzan magrib berkumandang dan gelap
pelan-pelan menyelimuti petang. Kuhentikan ia dari permainannya.
“Ayo kita shalat dulu!!” Ajakku padanya.
dengan gesit ia segera ambil wudlunya, lalu sujud ruku dan berdiri bersama sama-denganku. Selepas
salam, kulihat tangan mungilnya menengadah..
Allah... aku tak kuat melihatnya berkaca dalam pelukkan doa padaMu.. Lucunya, kenapa seorang kakak
terkesan lebih lemah dari adiknya, kaka macam apa aku ini?
Tangannya yang menengadah ia usap ke wajah, melihatku ia tersenyum
“Teh ko mamah lama di rumah sakitnya? dede pengen kesana.. tapi ..” ia terlilhat berpikir.
“Tapia apa?” kutanya lagi.
“Tapi ngga mau kalau cuma lihat dari bawah, pengen meluk mamah..” suaranya lirih.
Aku segera memeluknya, mendekapnya erat-erat, Kupejamkan mata ini kuat-kuat, tapi tetap saja airnya
menetes membasahi mukena yang masih kupakai. Aku terbayang, memang jika adik kecilku yang manis
ini datang kerumah sakit, ia tak bisa merengkuh jemari mamah. Hanya menengadah dari lobby. Melihat
ke lantai tiga sana yang nyaris 90 derajat mematahkan lehernya. Dan dibalik jendela sana ada mamah,
yang tersenyum dan melambaikan tangan dengan halus.
Mamah hanya bisa melihatnya dari kejauhan, pandangannya mungkin buram karena matanya tak lagi
sejernih dulu, ia hanya menangkap bayangan anak bandel yang pintar ini berlarian kecil. Sama seperti
aku dulu, yang masih bisa menampakkan wajah riangku saat menjenguk mamah.
Dan aku tahu persis yang dirasakan adikku ini, karena akupun dulu merasakannya. Bahkan masih
terniang-niang hingga sekarang, bagaimana rasanya ketakutan bahwa penyakit ganas itu akan
merenggut keberadaan mamah disampingku.
Maafkan aku de, aku belum bisa membawa mamah pulang untukmu. Seandainya kita punya uang lebih
banyak, mungkin cukup untuk biaya membayar pelayanan dan dokter yang lebih baik, agar mamah
cepat kembali ke rumah ini. sayangnya, yang ayah dan kuusahakan belum bisa membuatnya cepat disini,
tapi tenanglah ada Allah yang melebihi segalanya, yang akan membuat mamah memelukmu lagi.
Hanya ada aku dan adikku di rumah sederhana ini. Ia masih kupeluk sampai ia tertidur di pangkuanku.
Mungkin terlalu lelah main seharian ini, padahal ia belum cerita apa saja yang ia lakukan siang hari tadi,
tapi biarlah. Kupindahkan ia ke tempat tidurnya. Biar selimut ini saja ya yang menemanimu malam ini.
Isya sudah tunai kudirikan. Baru saja akan kubuka lembaran diktat kuliahku, Ayah datang. Aku heran.
“Siapa yang menunggu mamah?” tanyaku khawatir.
“Ada kakak, baru datang maghrib tadi.” jawabnya singkat.
Aku buatkan kopi pahit untuknya. Padahal wanita cantik yang biasa menyuguhkan secangkir kopi
padanya adalah mamah. Untungnya mamah sudah mengajariku bagaimana membuat kopi yang enak.
Lalu ayah berbenah, ia pun menyusul adikku di tempat tidurnya. Ia turut terlelap disana.
Diam-diam kupandangi wajah lelah mereka. Lagi-lagi ini membawaku larut dalam samudera air mata.
Seketika memori-memori itu kembali hadir. Dulu aku ingat betul bagaimana payahnya mamah saat
mengandung adikku. Di usia kandungan yang nyaris tua, mamah tetap menjadi wanita yang bugar. Larut
malam sempat kuintip ia memindahkan air dari bak untuk di tampung di ember-ember, karena pada
saat itu musim kemarau, air hanya datang malam hari. Aku ingin membantu, tapi ia marah dan
menyuruhku tidur lagi.
Begitupun ceritanya saat mengandung kakakku, pada usianya yang masih muda dulu ia melahirkan
pertamakali di kampung sana. Belum mengenal teknologi, semua serba primitif. Ia kesakitan. Menuruti
aturan-aturan orang tua yang sekarang dipikir semakin tak logis. Sakitnya melahirkan kakakku
membekas, dan berlanjut dengan mengandungku. Tahun 1995 aku lahir, menambah bahagianya dan
juga sakitnya mungkin. Luka yang tak terdeteksi sejak 1989 itu infeksi di dalam, dokter memvonisnya
kanker, entahlah apa itu aku tak ingin tahu. Sampai akhirnya Tahun 2000 itu menjadi latar waktu
bundaku mengalami operasi.
2006 yang lalu adikku lahir, semakin menambah bahagianya, juga sakitnya mungkin. Lahirnya ia pun
membekas. Ada guratan melintang di perut mamah. Mamah harus sesar, karena operasi sebelumnya
membuat ia tak bisa melahirkan dengan normal.
Sampai tahun ini, rumah sakit itu sering ku kunjungi lagi, dan wanita mulia yang amat kucintai yang
berbaring di sana. Entah apa yang sekarang kupikirkan. Aku seolah menjadi saksi kesabaran mamahku,
kekuatan ayahku, ketegaran adikku, pun kekhawatiran kakakku. Semua dengan telik kuperhatikan.
Demi Allah, tak ada alasan yang membuatku tak menyayangi mamah! Lelah ini tak sebanding lelahnya
mengandungku, membesarkanku. Lemah ini tak selemah ia melawan kanker itu. Lantas apalagi yang
kukeluhkan? Aku harus tegar! Karena kisah mamah pun mengajariku untuk tegar.
“Mutiara mamah gak boleh pudar!” ya mamahku tersayang, tentu aku akan selalu bersinar. Meneruskan
sianarmu yang kau wariskan. Di setiap mata air perjuanganmu, kupunguti hikmah yang berserakan..
tentang hidup dengan keikhlasan juga kesabaran. Aku meyayangimu lebih dari apapun, tapi sayangmu
padaku tak sekedar itu. Malaikatku… lekas sembuhlah…
dn (Cimahi,2015)
Allahu... jika esok atau lusa Engkau panggil bunda, maka izinkan hari ini menjadi bhakti terbaikku padanya. Bukan yang pertama kali kupa...
Artikel Terkait :
Diberdayakan oleh Blogger.
Click here for comments 0 komentar: