[FIKSI Campuran]
Betapa Kurangnya Aku
Oleh: Salma
Humaira
Rasanya, virus malas kian gesit menggerogoti
semangatku. Padahal sebentar lagi hari Senin tiba, hari di mana aku harus siap
menghirup udara beraroma rumus fisika. Apalagi UTS akan segera menghadang
diriku. Aku tak tahu apa yang aku rasakan sekarang. Hampa. Tiada yang mewarnai
relung kalbu ini. Mau bahagia, karena apa? Menangis, menangisi apa? Marah, pada
siapa? Aku pun agak depresi berkat sekelumit tugas bahasa Arab yang begitu
rumit melilit-lilit diri ini. Sungguh aku tak mengerti. Walau memang, mengeluh
itu tiada manfaatnya dan bahkan malah menambah dosa. Tapi putus asa berhasil
merenggut semangatku. Bagaimana ini mengerjakannya?
Lagi-lagi aku bingung akan jenis kepribadianku. Rendah
diri kembali hinggap memagut jiwaku. Dipikir-pikir, apa gunanya aku hidup dunia
ini? Rasa hampa benar-benar sukses menyelinap dan bersemayam dalam hatiku.
Tiba-tiba adzan berdengung mengetuk lembut gendang
telingaku. Kutunaikan shalat magrib, dan kubaca ayat suci Al-Qur’an. Mata ini
mendadak perih dan meluap meneteskan butiran-butiran kristal hangatnya.
Sementara mataku berkaca-kaca, aku pun bertanya-tanya dengan pertanyaaan yang
sama. Apa manfaatnya diriku? Tetapi
aku tetap berusaha tuk bersyukur karena masih diberi kesempatan mengarungi ayat
suci Al-Qur’an.
“Kak, mau ikut ke mall?” lengkingan suara adikku
memecah sunyi yang sedaritadi menemaniku menyelami ayat suci. “Ehm, ya, ini
tanggung sedikit lagi,” aku pun menjawabnya sebentar, kemudian kembali
merampungkan bacaan beberapa ayat lagi.
Akhirnya aku ikut pergi bersama keluargaku ke mall.
Meskipun awalnya aku bingung, untuk apa aku ikut. Toh aku sedang tak butuh
apa-apa. Menurutku, pergi ke mall itu hanya membuang-buang uang. Boros. Memang
menyenangkan tapi kesenangan itu sementara. Belum lagi waktuku akan terkuras
habis menguap begitu saja.
“Jangan mengerjakan PR melulu, Kak. Refreshing sedikit
biar enggak stress,” aku teringat ucapan ibuku tadi di rumah. Kebingungan
terkadang menjajah singasana pemikiranku, adikku yang main melulu dimarahi, dan
aku yang terus-menerus berkutat dengan buku dan netbook pun dimarahi. Haduh. Tapi katanya, orang tua itu selalu
ingin yang terbaik untuk anaknya. Oh, mungkin pernyataan Ibuku memang benar.
Aku butuh hiburan. Mungkin.
Di perjalanan, kemacetan menyergap kami. Teriknya
sinar mentari mengiringi tiap hentakan langkah kaki seorang anak kecil yang
datang menghampiri kami. “Pak, korannya?” tawarnya sembari menyodorkan berbagai
jenis surat kabar.
Tersentuh hatiku kala menatapnya, dia masih kecil,
sepertinya masih kelas 3 SD. Seharusnya dia sedang asyik menimba ilmu, tapi dia
justru berjuang mencari recehan pengganjal perut!
Ayahku membeli korannya satu. “Berapa harganya?”
“Dua ribu lima ratus, Pak.”
Ayahku menyodorkan selembar uang lima ribuan. Kemudian
dia mengubek-ubek kantong kecilnya. “Ada lima ratusnya, Pak?” tanya anak kecil
berbaju merah kumal dan kotor. “Ya sudah, kembaliannya buat kamu saja.”
Anak kecil itu menggigit bibir. “Ehm ... jangan, Pak.
Tunggu sebentar. Saya mau tukar uang receh dulu.” Tolak sang anak dengan halus,
seutas senyuman tipis pun menghiasi wajahnya. Aku terperangah mendengarnya. Heran,
biasanya orang zaman sekarang itu segala dilahap, tapi dia tidak begitu.
“Ah enggak usah, Dik. Lampunya merahnya juga sebentar
lagi mau berganti menjadi warna hijau.” Timpal ayahku saat anak kecil berambut
kusut tersebut hendak berlari pergi.
“Oh iya benar. Terima kasih banyak, Pak.” Ucapnya
berseri-seri. Aku melongo memperhatikan
kelakuannya, dia nampak bahagia sekali.
Berselang beberapa menit, kami sampai di sebuah mall
ternama di kotaku. Dan ... ah, aesuai dugaanku tadi di rumah, benar saja, aku
menghabiskan banyak uang di pasar modern ini. Inilah yang membuatku malas
berangkat ke mall. Sekalinya masuk, keinginan duniaku semakin membeludak. Ingin
ini, ingin itu. Susah ditahan. Semua benda yang ditawarkan terlihat begitu
eksotis dan menarik. Kenapa, ya? Mencari dan mengumpulkan uang ataupun menabung
itu susah, tapi menghabiskannya amatlah mudah, secepat perginya angin yang
pernah datang membelai pohon jambu depan rumahku.
Setelah lelah berbelanja ria, tentu saja kami pulang.
Lagi-lagi kami terjebak macet. Untung
saja tadi saya membeli sebuah novel. Daripada saya hanya duduk diam
termangu, rasanya novel ini cukup menghibur. Ya ... lumayan bisa digunakan
sambil menunggu mobil ini melaju di antara deru kendaraan lainnya di jalan raya
ini. Huh ... jalan raya yang satu ini memang terkenal sebagai jalur macet.
Berbagai manusia datang dan pergi menghampiri mobil
kami. Dari mulai pengamen, pengemis, pedagang asongan, pedangdut yang
membawa-bawa radio, hingga perempuan jadi-jadian pun ada.
Seorang anak kecil setinggi 130 cm berbaju kumal
menghampiri kami dengan beberapa koran di pergelangan lengannya. “Ayah kan tadi
pagi sudah membeli koran,” kata ibuku saat ayah hendak membuka kaca jendela
mobil lagi. “Iya ... sudah selesai dibaca, kok, Bun.” Jawab ayah sembari
tersenyum.
Ayah memang hobi sekali dalam hal baca-membaca, jadi
wajar saja sih sebenarnya kalau koran tadi pagi sudah dilahap habis bacaannya
oleh Ayah.
“Eh bapak?!” ujar anak itu, kaget. Aku pun begitu.
Mengapa wajah anak ini terasa familiar, ya? Ya ampun, aku lupa. Dia
itu kan penjual koran yang tadi pagi. “Ini pak kembaliannya sudah ada,” Ayahku
belum mengucap sepatah kata pun, dan dia sudah melanjutkan.
“Aduh, sudahlah enggak apa-apa. Ini
bapak juga mau beli lagi, koran Pikiran Warga-nya satu.” Ujar ayahku. “Oh ini
harganya empat ribu, berarti bapak tinggal bayar seribu lima ratus,” ungkapnya
dengan seutas senyuman. Sementara ia menunggu, ayahku mengorek sakunya. Selembar
uang berwarna ungu dengan nominal sepuluh ribu keluar dari sakunya.
“Ada uang pas tidak? Saya tidak ada kembaliannya
lagi.”
“Ya sudahlah, Dik. Ambil saja, anggap ini rejeki dari
Allah.”
“Alhamdulillah, terima kasih banyak, Pak. Semoga Allah
membalas kebaikan Bapak.” Ukiran wajahnya pun menjadi sumringah berseri-seri.
Kekaguman melintas dalam benakku. Kendatipun hanya diberi selembar uang yang
tak seberapa, tapi dia amat bersyukur dan bahagia. Malulah diriku apabila
tingkat rasa syukurnya dibandingkan dengan dirinya.
Kusenandungkan pujian kepada Sang Pencipta kehidupan,
yang telah berhasil membasuhku dengan tetesan cahaya hikmah. Kini kumengerti
bahwa mengeluh takkan bisa menyelesaikan masalah, namun justru malah menambah
masalah. Akan selalu kucoba tuk mengingat mereka yang tak mampu bersekolah
manakala diriku mengeluh akan beratnya tugas dari sekolah. Oh, betapa hari ini
menampar keras rasa malas yang bertahta dalam dada. Aku teramat sangat
bersyukur kepadaNya atas segala hikmah yang telah dialirkan ke dalam hatiku.
Perasaan hampa telah enyah. Sercercah semangat kembali hadir melebur dalam jiwa
dan raga, memompa diri agar semangat lagi untuk meraih mimpi.
[FIKSI Campuran] Betapa Kurangnya Aku Oleh: Salma Humaira Rasanya, virus malas kian gesit menggerogoti semangatku. Padahal sebentar l...
Artikel Terkait :
Diberdayakan oleh Blogger.
Click here for comments 0 komentar: