Loading...

Usulan Revisi UU KPK : Memperkuat atau Memperlemah ?


Dalam koran Pikiran Rakyat yang terbit pada 13 Oktober 2015 dikatakan bahwa merevisi Undang-Undang KPK adalah kesepakatan semua fraksi di DPR. Mereka sepakat memasukkannya dalam program legislasi tahun 2015 dan menjadi usulan inisiatif DPR. Hal ini memang merupakan salah satu fungsi utama DPR yakni fungsi legislatif sebagaimana tercantum dalam Pasal 20A ayat (1) yang menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan serta Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yakni anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan Rancangan Undang-Undang.
Maka dari itu kita dapat mengatakan bahwa DPR lebih dominan dalam pembuatan undang-undang dari pada Presiden. Untuk itulah kemudian di DPR dibentuk Badan Legislatif (Baleg). Yang perlu dipikirkan adalah, apa yang harus dilakukan agar undang-undang tidak sering dimintakan Judicial Review.
Pada dasarnya revisi UU KPK telah lama menuai pro dan kontra karena dianggap ingin melemahkan KPK, sebagaimana yang dituliskan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) dalam situsnya:
1.      Pencabutan kewenangan penyadapan. Penyadapan sebagai salah satu kewenangan yang dimandatkan dalam UU adalah senjata yang paling ampuh dalam membongkar kasus-kasus korupsi besar terutama suap. Banyak perkara korupsi yang terungkap melalui penyadapan, jika kewenangan ini dihapuskan maka pengungkapan kasus suap seperti yang terjadi di Sumsel baru baru ini tidak mungkin terjadi.
2.       Terkait penghapusan kewenangan penuntutan KPK. Disatukannya kewenangan penyelidikan/penyidikan dan penuntutan dalam KPK adalah guna mempercepat proses penanganan korupsi sehingga tak berlarut-larut. Hal ini belajar dari praktik antara Kepolisian dan Kejaksaan dimana sering terjadi “bolak-balik” dalam penuntutan perkara sehingga penuntasannya memakan waktu sangat lama.
3.      Terkait perlu bentuknya dewan pengawas untuk mengawasi kinerja KPK.  Pembentukan dewan pengawas juga tidak relevan karena saat ini KPK sudah diawasi banyak pihak. KPK diawasi oleh pengawasan Internal yaitu Bagian Pengawasan internal dan Penasihat KPK dan komite etik KPK maupun pengawas eksternal yaitu DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan.
4.      Terkait memperketat rumusan kolektif kolegial.  Bahwa makna kolektif kolegial tak dapat diartikan secara keseluruhan komisioner KPK. Pemaknaan kolektif kolegial haruslah dimaknai sebagai sebuah prinsip kebersamaan dan kesetaraan dalam berbagai proses. Dalam rencana revisi UU KPK pengaturan lebih rinci tentang kolektif kolegial sebagaimana pandangan pertama hanya akan mempersulit kerja-kerja KPK dalam memberantas korupsi.
5.      KPK diberikan kewenangan menghentikan perkara. Kepuasan publik terhadap kinerja KPK tak dapat dipungkiri juga dikarenakan KPK tak memiliki kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan. Hal ini memaksa KPK untuk sangat hati-hati dalam memeriksa perkara korupsi yang ditanganinya. Upaya ini terbukti dengan prestasi 100% conviction rate KPK, yang berhasil membuktikan perkara korupsi di persidangan. Diberikannya kewenangan menghentikan penyidikan dan penuntutan hanya akan menurunkan standar penanganan perkara korupsi yang dilakukan KPK.

Terlepas dari hal itu, yang menarik dan makin memperkuat keyakinan adanya upaya pelemahan KPK adalah adanya perbedaan persepsi terhadap poin pembahasan usulan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi antara pewakilan Dewan Perwakilan Rakyat dengan Menko Polhukam dimana menurut Harian Umum Pikiran Rakyat poin perubahan usulan revisi UU KPK yang diajukan oleh DPR adalah sebagai berikut :
1.      KPK tetap memiliki kewenangan menyadap, bisa tanpa izin ketua pengadilan negeri jika dalam kondisi mendesak
2.      Kewenangan penuntutan dikembalikan kepada kejaksaan
3.      Pemberian kewenangan surat perintah penghentian penyidikan (SP3)
4.      Pembatasan pelimpahan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
5.      Pembentukan dewan pengawas KPK
6.      Perlu diatur mekanisme pengangkatan tugas komisioner KPK
7.      Memaksimalkan langkah pencegahan oleh KPK
8.      Ketentuan Pendampingan saksi oleh advokat
Sedangkan poin perubahan usulan revisi UU KPK menurut Menko Polhukam, Luhut Binsar Pandjaitan hanya ada 4 poin yakni sebagai berikut :
1.      Pemberian SP3
2.      Penyadapan harus ada izin dari Dewan Pengawas KPK
3.      Pembentukan dewan pengawas KPK
4.      Pembentukan tim penyidik Independen
Mengingat revisi Undang-Undang adalah hal yang penting, khususnya merevisi UU KPK, karena masyarakat menganggap KPK merupakan lembaga yang mampu mengurangi tingkat korupsi di Indonesia bahkan membebaskan Indonesia dari jerat korupsi kedepannya, oleh karena itu DPR seharusnya lebih berhati-hati dan lebih bijak dalam pembahasan revisi UU KPK ini.
Hal-hal seperti kurangnya kordinasi yang dibuktikan dengan perbedaan poin perubahan usulan revisi UU KPK yang diucapkan oleh perwakilan DPR dengan yang diucapkan Menko Polhukan dapat dianggap sebagai kesewenang-wenangan DPR dalam merevisi UU KPK, dalam Pasal 20 ayat (2)  Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Oleh karena itu kordinasi menjadi hal yang sangat penting, jika DPR dan pemerintah memiliki persepsi yang berbeda terkait poin perubahan usulan revisi undang-undang KPK maka dikhawatirkan kecurigaan masyarakat mengenai adanya potensi pelemahan KPK seperti yang telah lama diduga oleh masyarakat akan semakin menguat, selain itu DPR harus terbuka kepada masyarakat untuk mengurangi kecurigaan tersebut, keterbukaan dan kordinasi yang baik juga dapat mengurangi potensi sering dilakukannya penolakan RUU atau bahkan Judicial Review terhadap Undang-Undang yang ada seperti kecenderungan selama ini.
Setidaknya Terdapat tiga putusan Mahkamah Konstitusi terkait pemohonan penghapusan aturan penyadapan yang dilakukan KPK, yang meskipun ketiga perkara ini ditolak oleh MK untuk dikabulkan namun menhasilkan masukan terkait pembentukan pengaturan yang membahas penyadapan diantaranya adalah :
Pertama putusan nomor 006/PUU-I/2003, bertanggal 30 Maret 2004. Di dalam pertimbangan hukum putusannya, MK memberi penjelasan hak privasi bukanlah bagian dari hak-hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights), sehingga negara dapat melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut dengan menggunakan Undang-Undang, sebagaimana diatur dalam pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lebih lanjut MK menyatakan, “untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan untuk penyadapan dan perekaman MK berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata cara penyadapan dan perekaman yang dimaksud”.
Kedua putusan nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006. Dalam putusannya, MK kembali menolak permohonan pembatalan pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dan memerintahkan untuk menuangkan pengaturan mengenai penyadapan dalam Undang-Undang.
Ketiga putusan nomor 5/PUU-VIII/2010, bertanggal 24 Februari 2011. Secara umum, dalam ratio decidendi putusan perkara No. 5/PUU-VIII/2010, MK menyatakan bahwa penyadapan merupakan sebuah tindakan melanggar privasi orang lain dan oleh karenanya melanggar HAM. Meskipun begitu, untuk kepentingan nasional yang lebih luas, seperti halnya penegakan hukum, hak tersebut dapat disimpangi dengan pembatasan, yang pengaturannya harus dilakukan dengan Undang-Undang.
Peraturan yang ada saat ini hanya mengatur pemberian wewenang bagi KPK untuk menyadap dan merekam pembicaraan, sementara soal mekanismenya belum diatur sama sekali. Selama ini KPK hanya menggunakan aturan SOP tentang teknis penyadapan yang ditetapkan oleh KPK sendiri.
Mahkamah Konstitusi dalam tiga putusan uji materinya tahun 2003, 2006, dan 2010 pada intinya telah mengamanatkan kebutuhan suatu perangkat peraturan setingkat undang-undang yang mengatur syarat dan tata cara penyadapan dan perekaman untuk menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar HAM seseorang.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebenarnya revisi UU KPK dibutuhkan untuk memperkuat KPK bukan melemahkan KPK, yang jadi titik permasalahan utama adalah bagaimana DPR dapat meyakinkan dan membuktikan kepada pihak-pihak yang menolak revisi undang-undang KPK terutama masyarakat bahwa substansi yang akan dimasukan kedalam revisi undang-undang KPK bukan untuk melemahkan KPK. (GA, 2015)


Referensi :
  • http://www.antikorupsi.org/en/content/cabut-revisi-uu-kpk-prioritaskan-revisi-uu-tipikor 
  • Jaya Hairi, Prianter. 2009. Revisi UU KPK : Pembenahan Hukum Penyadapan KPK”, dalam Info Singkat Hukum Vol. VII, No. 13/1/P3DI/Juli/2015. Jakarta: P3DI
  • Soemantri, Sri. 2014. Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Click here for comments 0 komentar:

Terima kasih atas komentar Anda
Diberdayakan oleh Blogger.
Back to Top